Posted in 30 Hari Menulis 2018, Family, Sosial Issues

Perjalanan Seumur Hidup


Kelen tau Bowo ga sih?”

Tiga kepala anak gadis usia 11-17 tahun itu, terangkat semua dari buku dan gawai yang sedang mereka pegang.

“Siapa tuh?”

“Tiktok ceunah …”

“Ooh teteh tau, iya yang tiktok itu” akhirnya Aisha yang baru naik kelas 6 mengangguk. Pernah liat, katanya.

Tiga anak gadis saya tidak kenal Bowo dan tidak peduli dengan tiktok. Perkembangan kreativitas orang-orang di media sosial memang ga ada matinya. Selalu ada tren baru setiap harinya. Mulai aplikasi yang bisa memoles wajah menjadi lebih mencrang alias kinclong, sampai yang membuat para penggunanya memutuskan meninggalkan rasa malu di sudut rumah (contohnya BIGO live).

Beberapa teman di Facebook sempat mengeluhkan aplikasi tiktok yang meresahkan ini. Beberapa kali pula saya melihat tautan gambar dari entah akun Facebook atau twitter atau instagram, tentang kekaguman para remaja putri, kepada Prabowo Mondardo, alias Bowo Alpenliebe, alias Bowo Tiktok.

Wajar ketika banyak emak-emak merasa resah, sebab kekaguman yang dicetuskan para gadis kinyis-kinyis itu bisa membuat ulu hati tertohok. Dari mulai yang rela jual ginjal sampe menawarkan keperawanan kepada Bowo, sang idola.

750xauto-duh-8-status-fans-berat-bowo-tik-tok-ini-bikin-ngelus-dada-180629e.jpg

(sumber gambar di klik )

*langsung-migren

Tadi malam saya iseng mencari si Bowo yang sedang ngeheitz ini.

*tambah-migren

Anak seumur jagung ini … cuma goyang-goyang jari, lip-sync lagu apalah-apalah itu, sambil senyam-senyum, bisa ngadain meet and greet berbayar 80K?

Sungguh halusinasi tingkat pilkada ini.

are-u-frustrated.jpg

(sumber gambar di klik )

Apapun itu, sebagey emak-emak anak empat yang kebanyakan gaya ini, saya hanya ingin memberi semangat kepada emak-emak lainnya,

Seloow saja … anak-anakmu ga akan termasuk penyembah Bowo, kan kau ibu mereka.

*saya sebut penyembah, soalnya salah satu fans katanya ingin bikin agama baru, dan Bowo mau dijadikan Tuhannya, mmh nyaaa … blom pernah di-sleding Messi tuh anak.

00214786s1.jpg

(sumber gambar di klik )

Saya selalu bilang kepada para orangtua, yang memiliki anak abegeh, harus percaya diri jadi orangtua. Mau ada fenomena seaneh apapun, jika komunikasi kita bagus sama anak, Insyaallah takkan terjadi hal-hal yang tak diinginkan.

Gawai adalah sesuatu yang sulit dihindarkan di era sekarang. Menyeleksi dan menyaring adalah solusinya. Kecuali kalau Anda jenis orangtua luar biasa yang sanggup menjauhkan gawai dan sejenisnya dari anak, mengisinya dengan hal-hal positif, seperti bermain kreatif,  olahraga dan hapalan Quran. Percayalah, saya tahu ada banyak orangtua yang seperti ini. Saya kenal beberapa diantara mereka.

Tak ada orangtua yang sempurna, tentu saja. Anak-anak kita adalah proses trial and error kita sepanjang masa. Seperti halnya mereka berproses menuju kedewasaan, kitapun menjalani proses menuju kematangan sebagai orang yang lebih tua dan hidup lebih dulu.

Anak-anak adalah peniru ulung. Apa yang mereka lihat dan dengar, itu yang akan mereka contoh. Perjalanan tiru-meniru ini berlangsung sepanjang hayat dikandung badan. Anda suka membentak, mereka akan melakukannya juga. Anda suka mengejek, oh mereka juga. Anda suka berbohong, meremehkan orang, menyepelekan proses, mengambil jalan pintas, dan sebagainya dan sebagainya; mereka akan melakukannya.

Maka cermin adalah guru yang baik.

Bercerminlah, maka kita akan tahu sudah seberapa banyak yang kita abaikan, dan baru sedikit yang kita lakukan.

Perjalanan ini masih panjang.

Sebab menjadi orangtua bukan kontrak kerja tahunan, apalagi cicilan kendaraan, yang ketika beres Anda akan merasa lega dan merasa kewajiban telah tunai. Ini komitmen hidup yang Anda setujui saat janin mulai berkembang di Rahim. Terima saja, dan bertanggungjawablah.

Jadi, mau ada Bowo kek, mau ada “istri sah Iqbaal” yang fenomenal di Instagram, mau ada aplikasi baru yang lebih aneh lagi, santai aza kek di pantai.

Percayai anak-anakmu, sebab Anda orangtua mereka.

Jangan khawatir mereka jadi punya idola aneh-aneh, kan Anda Ibu Bapaknya.

Kecuali kalau Anda sendiri begitu, ya itu beda kasus.

Mari, kita bercermin.

 

* am sipping my coffee and thinking how weird this whole world has become

 

Word count : 582

 

Posted in Family

Bully!!!


Setelah “salim”, Baim memanjat tangga menuju kelasnya. Di selasar ia berbalik, dan melambaikan tangan. Saya masih di sana, menunggunya hingga menghilang di balik selasar, yang memisahkan tangga menuju kelas dan tangga ke luar. Saya memutar jalan ke seberang sekolah Baim, supaya bisa mengawasinya dari jauh. Ia terlihat ragu-ragu, mengintip jendela kelas sebentar, baru kemudian masuk. Hati ini sedih melihatnya, namun Baim harus berani. Sebab Baim harus tahu hidup itu berat, sekarang dan nanti.

Pagi ini ia menolak bersekolah. Setelah dibujuk, akhirnya mau juga, sebab hari ada ada cooking class di TK-nya Baim. Baim tidak mau sekolah, sebab beberapa hari ini ia selalu dipukul oleh temannya. Entahlah apakah “dipukul” atau “terpukul”, apakah sedang main-main atau memang sengaja. Saya sendiri sudah memberitahu gurunya mengenai ini, agar disampaikan kepada anak-anak, bahwa memukul bukan bagian dari permainan.

Suatu hari, pernah saat menjemput, Baim langsung terisak memeluk saya. Menunjuk satu orang anak yang berada tak jauh dari sana. “Dipukul sama ituu …” si anak yang memukul sedang memakai sepatu dibantu oleh Ibunya. Saya menatap Ibunya, menunggu respon. Hingga sepatu selesai dipasangkan, saya hanya termangu di sana, serasa di PHP-in. Hari-hari selanjutnya, Ibunya anak itu, kalau bertemu dengan saya selalu memalingkan wajah atau menunduk, tak berani bersirobok pandangan.

Baiklaaaah.

Sepanjang karir saya sebagai Ibu beranak empat, masalah perundungan (bullying) ini selalu ada. Dari Tazkia anak tertua, hingga Baim yang bungsu. Macam-macam jenis perundungannya, dari yang sekadar ngomong (verbal) hingga ke memukul secara fisik.

Menariknya, meski tipe perundungannya macam-macam, tipe para Ibu perundung justru hanya satu macam. Tipe yang selalu mengatakan,

“Yah dimaklum aja, namanya juga anak-anak,”

Atau tipe yang pura-pura tak tahu kalau anaknya telah menyebabkan anak orang lain menderita.

Percayalah. Para perundung itu eksis sebab dibiarkan dan dimaklumi.

Ungkapan “namanya juga anak-anak” itu kedengarannya dan kelihatannya benar. Semacam justifikasi bahwa anak, dengan usia belianya memang belum mengerti yang benar dan salah.

Dan ini justifikasi yang mengerikan.

Jangan-jangan banyak para perundung yang hingga dewasa masih sering melakukan itu, sebab mereka berbekal mantra “namanya juga anak-anak”, hingga kemudian batas antara yang benar dan salah itu kemudian mengabur.

Contoh-contoh lain yang lebih ekstrim dikisahkan oleh teman-teman saya. Ada anak yang sampai mencekik anak lainnya, kemudian Ibunya (yang mencekik) justru marah-marah dan memusuhi Ibu yang satunya lagi.

Ibu yang gila.

Maafkan, jika bahasa saya kasar. Sebab, anak bagaimanapun refleksi orangtua nya. Mengapa senang memukul? Mengapa senang mengasari? Itu yang perlu dicari jawabannya, bukan malah membuka jalan untuk bermusuhan dengan sesame orangtua.

Di saat orangtua perundung bisa dengan cueknya menikmati hidup, orangtua anak yang dirundung, seperti saya, harus pandai-pandai menahan hati.

Memangnya ada, Ibu yang tidak sedih jika anaknya dirundung? Baik verbal maupun fisik? Setelah itu, saya juga harus mengajak anak saya mengobrol,

“Iya … teman-teman memang banyak macemnya, kan. Ada yang baik, ada yang nakal. Yang nakal mungkin lagi lupa, dimaafkan aja ya. Yang penting kamu jangan begitu sama orang lain.”

Sementara anak saya masih terisak, berulang-ulang saya harus melakukan sounding supaya ia bisa bersabar dan menguatkan hati.

Padahal inginnya saya mengatakan, “Iya! Temanmu nakal! Main mukul aja! Ga tau dia betapa sayangnya Umi sama kamu, jangankan membiarkan kamu dipukul orang, nyamuk gigit kamu aja, Umi marahin!”

Tapi tentu saja saya tidak bisa mengatakan begitu. Satu, karena itu tidak mendidik. Dua, karena itu konyol.

Korban perundungan bisa sangat lama sembuh dari luka yang ia alami. Anak saya nomor tiga, baru di kelas lima sekarang ia mulai kelihatan senang dan percaya diri. Sebelumnya, dari sejak playgroup, sudahlah tak usah ditanya. Kisah-kisahnya panjang berderet-deret. Kisah yang mungkin takkan pernah diketahui oleh para orangtua dari anak-anak yang pernah merundungnya. Berat sekali cobaan untuk si nomor tiga ini, sehingga saya sering mengatakan padanya,

“Kalau Teteh dibegitukan lagi, teteh dipukul, pukul balik. Lawan!”

Nasihat yang sama pernah saya katakan pada anak sulung saat ia mengalaminya. Saya tidak ingin anak saya main pukul, saya ingin anak saya sanggup membela dirinya sendiri. Sebab jika terus bersabar menerima pukulan demi pukulan, baik verbal maupun fisik, mau sampai kapan? Sementara anak-anak saya suatu saat takkan punya kami lagi sebagai orangtua mereka. Suatu hari, mereka akan berdiri sendiri, mau tak mau harus menghadapi kejamnya dunia ini.

Sungguh, para orangtua yang anak-anaknya tukang bully itu seharusnya merasakan juga. Merasakan bagaimana perihnya saat melihat anak menangis, dan kemudian berdampak pada rasa tidak percaya diri. Di saat anak-anak lain menyukai sekolah, mereka malah merasa sekolah adalah neraka. Menyedihkan.

Anak-anak kamu meureun, elehan! (anak-anakmu tipe yang suka ngalah kali)

Sumpah ya, mau saya tantang duel aja ini orang yang bilang begini. Saya membesarkan anak, bukan petinju. Mencibiri anak orang lain yang dianggap ‘lemah’ sebenarnya hanya menunjukkan bahwa yang mencibir lah yang lemah, secara moral.

Di sekolah itu Miss, kalau ga jadi tukang bully, ya jadi korban bully!

Itu kata-kata seorang murid saya di kelas, suatu hari saat kami membahas bullying. Ia duduk di bangku SMA dan bercerita betapa perundungan adalah sesuatu yang biasa terjadi.

Bagaimana ini?

Mengapa hukum rimba kemudian merambah dunia pendidikan? Sekolah bukan hutan dimana predator yang lebih kuat kemudian bisa seenaknya memangsa binatang yang lebih kecil.

Sesungguhnya, kalimat “namanya juga anak-anak” perlu serta merta dihapuskan dari mulut semua emak-emak.

Kau mendidik anakmu untuk menjadi baik, bukan menjadi pemangsa. Ini sekolah, bukan arena pertandingan sumo.

Suatu hari, jika anakmu dengan tak acuhnya melakukan sesuatu yang lebih mengerikan dari sekadar memukul temannya tanpa rasa salah, mohon jangan menyalahkan siapapun.

Kau sudah tahu jawabannya.